Friday 27 July 2012

Curhatan Anak pada Bapak


Curhatan Anak pada Bapak
Oleh UBAY KPI

Suatu pagi, saat itu Saya baru saja selesai salat Subuh, saya di kamar diam sendiri dengan sebuah laptop. Saat itu almarhum bapak bersama ibu di dapur. Entah apa mereka keluhkan, yang jelas kedengaran bapak saya mengeluh karena suatu belanjaan.
Saat itu juga bersamaan dengan musim hujan. Ibu dan ayah pekejaannya hanya noreh karet, sehingga menggantungkan pekerjaannya ketika cuaca cerah. Seingat saya musim hujan saat itu sangat lama, sampai belasan hari. Dengan nada tinggi bapak berkata, bingung tak ada belanjaan, uang pun tak ada.
Mendengar kata-kata itu, saya begitu tersentak, Saat itu mugkin saya masih awal-awal bekerja di Borneo Tribune, hanya sebagai kontributor berita.  Peghasilannya hanya meggantungkan berita yang saya kirim, itu pun dihitung berita yang dimuat saja.
Di dalam kamar saya begitu sedih, sedih sekali, orang tua saya mengeluh seperti itu. Orang tua yang sudah lanjut usia. Bapak sudah tak kuat lagi bekerja sejak penyakit rematiknya parah sekali.
Dalam hati saya, saya ingin membantu, tapi bagaimana caranya? Gaji saya saja hanya cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Utk biaya kuliah, jajan, bensin, dan kebutuhan lainnya. Yah mugkin waktu itu gaji saya hanya sekitar 600-an.
Saya begitu menangis, menangis sesenggukan di kamar. Meksi saya tahan untuk tidak menangis, meski saya tahan untuk tidak tangis itu tak bersuara, tapi saya tak bisa. Air mata ini mangalir. Mengalir.
Saya merasa usia saya yang sudah di atas 20 tahun, belum memberikan manfaat kepada kedua ortu, sehingga orang tua yang sudah lansia, sudah 60 tahun ke atas. Harus bekerja sendiri untuk hidup, untuk makan saya, makan kakakku, juga ayah dan ibu.
Bagaimana saya tidak meringis. Anak yang sudah seusia saya, anak yang sudah seusia saya tak mampu memberi sumbangih kepada keluarga. Dalam hati saya hanya menangis, menangis sangat parah, penuh berlinang air mata. Deraian air mata mungkin tak seberapa, tapi hati saya. Saya yang sudah berusia tidak bisa bermanfaat, tidak bisa mengabdi kepada orang tua, dengan membantu kebutuhan-kebutuhan. Sejak itu say berjanji, akan berusaha.
Kerja saya memang tak seberapa, gajinya tak seberapa. Tapi cukup untuk saya. Saya kuliah alhamdulillah tidak meminta uang jajan untuk sehari-hari. Dan sejak semester 2 pun saya sudah bisa membayar uang daftar ulang sendiri. Tapi itulah, ketidakpuasan saya, saya tidak bisa membantu untuk keperluan dapur. Saya menangis, sungguh menangsis. Apalagi mengingat saat ini bapak telah tiada. Ayah yang dulu  membesarkan saya kini kini telah tiada.
Bapak tercinta, Semali bin Diman
Waktu itu, saat bapak tidak ada di rumah, dan ibu tidak ada di rumah, saya diam-diam melihat tempat  beras yang ibu simpan di dapur. Tak ada beras sama sekali. Saya pun waktu itu tidak memegang uang sama sekali. Hatiku semakin menangis, menangis sekali. Bahkan, saya sampai nelpon kepada abang saya yang ada di Jawa, bahwa di rumah lagi tak ada beras. Setelah bapak tahu saya kasi tahu saudara saya, bapak begitu marah kepada saya. Menurutnya amat memalukan. Padahal niat saya ingin berbagi. Entah kenapa saat itu saya hanya memikirkan untuk memberitahu. Padahal ketika sadar saat ini, itu amatlah sikap yang bodoh sekali. Bodoh, dan bodoh.
Sejak itu, saya mulai niat untuk membantu kedua orang tua. Meskipun hingga satu tahun kemudian saya masih  belum bisa membantu, karena tidak cukup untuk kbtuhan. Untuk kebutuhan saya sehari-hari di lapangan. Saya baru bisa mewujudkan itu ketika bapak terbaring sakit. Stroke yang dideritanya awal tahun ini. Yah, sejak bapak stroke itu, dan hanya bisa terbaring, sedang ibu tak bisa apa-apa. Ibu hanya menjaga bapak.
Sejak itulah, baru kesadarankku muncul. Sadar begitu sadar, di sinilah tempat untuk mewujdukan pagi itu. Sejak itu semua untuk keperluan di dapur semua saya atur. Semua saya cukupi dengan gaji yang pas-pasan. Tapi tak ada sedikit penyesalan. Tak ada penyesalan dalam diri saya meski saya harus mengorbankan kebutuhan pribadi. Bahkan sampai bapak tiada pun. Saya menangis, karena tidak bisa berbakti lebih kepadanya di masa hidup.
Padahal, saat sakit. Saya senantiasa berada di sisinya ketika malam hari. Bahkan ketika bapak untuk pindah tempat pun sekedar utk buang air dan mengambil wudlu’. Sering saya yang mengangkatnya. Tapi pengabdian itu belum cukup sama sekali. Saya ingin berbakti lebih. Namun terlambat untuk bapak tercinta.
Saat ini saya hanya punya ibu, dan kakak satu-satunya yang masih belum berkeluarga. Saat ini, Saya menjadi orang yang dituakan, karena laki-laki tertua di rumah. Sekaligu menjadi imam dan kepala keluarga.  Ada beban dan tanggung jawab untuk mngurusi keluarga, mengurusi ibu, kakak dan mencukupi untuk kebutuhan sehari. Ini yang bisa kuberikan saat ini.
Saya juga ingin membahgiakan ibu, membagiakan ibu, yah membahagiakan ibu.
Ibu Tercinta, Tarsia bin Tarki
Bapak, semoga bapak berada di tempat yang indah di sisi Allah. terima kasih bapak. Terima kasih. Bapak telah menjadi guru, guru bagi saya. Bagi anak bungsumu. Dan maafkan, maafkan saya belum bisa berbuat banyak kepada bapak ketika masih hidup.
Bapak, saat ini saya hanya ada ibu, anak bungsumu ini berjanji akan membahagiakan ibu, janji tidak akan membiarkan ibu pontang-panting seperti dulu untuk mencukupi kebutuhan dapur. Ibu akan Saya tempatkan di paling utama dalam pengabdian ini. Tak akan saya biarkan ia bekerja keras. Saya akan wujudkan ia duduk manis menikmati usia lanjut sembari tetap beribadah.
Anak bungsumu ini berjanji akan menjaga ibu. Pak. Anak bungsumu ini semoga menjadi anak bermanfaat. Semoga menjadi pengayom. Anak bungsumu akan berusaha ibu tak seperti dulu. Kerja setiap hari tanpa kenal waktu.
Kakak Tersayang, Nursiti Yinwana
Ketika Saya mengingat bapak, mengingat penderitaan dulu. Sungguh, sungguh saya orang yang tak berguna, tidak berguna sama sekali untuk bapak. Meski pun saya sudah bekerja. Tidak berguna bagi keluarga, anak seusia saya belum mampu membantu.
Bapak. I love you, I love yuu. Semoga kita dipertemukan. Maafkan anakmu.

Keterangan:
Tulisan ini kuucapkan dan direkam saat perjalanan pulang kerja. Dan waktu bersamaan saya sedang ada masalah dengan orang yang saya harapkan menjadi pendamping hidup suatu saat nanti “Setiawati”.
Foto hasil photohop ini dulu hanya berandai-andai. Namun kini saya menjalin
hubungan meski sebatas ta'arufan.
Sebuah pengaharapan, wanita ini menjadi pelengkap tulang rusuk yang kurang
Rekaman dari tulisan ini saya beri nama “Ubay untuk Bapak”. Tak hanya sebatas kata dari apa yang saya ucapkan, namun deraian air mata juga ikut mengiringi dari setiap kata yang terucap. Terutama saat di penghujung curatan ini.
Bertepatan dengan malam Jumat, sebelum saya naik ke rumah. Saya terlebih dahulu bersimpuh di depan nisan kuburan bapak yang di makamkan di depan rumah. Dengan penuh air mata penyesalan karena sangat belum cukup memberikan pengabdian di masa hidup bapak, saya haturkan juga alfatihah dan ayat-ayat suci untuk bapak. Serta doa untuk kebaikannya di alam kubur.


Jumat, 27 Juli 2012, Dini Hari

2 comments:

  1. Tetap semangat. Yakin, Ayah Ubay, bangga sama Ubay....

    ReplyDelete
  2. Iya kak. Makasih. AMin ya robbal 'alamin
    Knp blog kak tuh dh lma tak update?

    ReplyDelete